Oleh Abu Umar Al Bankawy
Kamis, 03 Mei 2012 - 22:34:31
Hit: 1452
Malu
adalah sifat pada diri seseorang yang akan membawa dirinya untuk
melakukan tindakan yang menghiasi dan membuat karakternya menjadi indah
serta meninggalkan perkara yang akan mengotori dan membuat jelek
karakternya.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَمَا كَانَ الحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إلاَّ زَانَهُ
“Tidaklah ada sifat malu itu pada sesuatu, melainkan ia akan
menghiasinya.” (HR. At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
وفي رواية لمسلمٍ : (( الحياءُ خَيْرٌ كُلُّهُ )) أَوْ قَالَ : الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
“Sifat malu itu baik seluruh akibatnya.” Atau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Malu itu semuanya baik akibatnya.”
Maka kita dapati seseorang yang memiliki sifat pemalu apabila dia
akan melalukan perkara yang haram atau meninggalkan perkara yang wajib
maka dia akan malu terhadap Allah ‘azza wajalla. Dan jika akan melakukan
sesuatu yang menyelisihi muru’ah, norma-norma yang berlaku di
masyarakat, atau meninggalkan perkara yang sudah sepantasnya dia
lakukan, maka dia akan merasa malu terhadap manusia.
Sebaliknya orang yang tidak memiliki rasa malu maka dia akan
mengerjakan segala sesuatu yang dia inginkan meski perkara tersebut
bertentangan dengan syariat Allah maupun bertentangan dengan muru’ah.
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari
perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah
sesukamu.” (HR. Al Bukhari)
Hakikat Malu
Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa para ulama berkata,
“Hakikat sifat malu itu ialah suatu budi pekerti yang menyebabkan
seorang itu meninggalkan apa-apa yang buruk dan menyebabkan ia tidak
lengah untuk menunaikan haknya seorang yang mempunyai hak.”
Beliau melanjutkan,
“Kami meriwayatkan dari Abul Qasim al Junaid rahimahullah, beliau berkata,
‘Malu ialah perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau
karunia dan melihat adanya kelengahan, lalu tumbuhlah di antara kedua
macam sifat yang di atas tadi suatu keadaan yang dinamakan sifat malu’.”
(Riyadhus Shalihin)
Malu adalah Cabang Keimanan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الإيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً :
فَأفْضَلُهَا قَوْلُ : لاَ إلهَ إِلاَّ الله ، وَأدْنَاهَا إمَاطَةُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ ، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإيمَانِ
“Keimanan itu ada tujuh puluh sekian cabang atau keimanan itu ada
enam puluh sekian cabang. Seutama-utamanya ialah ucapan La ilaha
illallah dan serendah-rendahnya ialah menyingkirkan gangguan dari jalan
dan malu itu adalah cabang dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma,
أنَّ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ
الأنْصَار وَهُوَ يَعِظُ أخَاهُ في الحَيَاءِ ، فَقَالَ رسولُ اللهِ – صلى
الله عليه وسلم – : (( دَعْهُ ، فَإنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإيمَانِ )) متفقٌ
عَلَيْهِ
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan melalui
seorang lelaki dari golongan kaum Anshar dan ia sedang menasihati
saudaranya tentang hal sifat malu. Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, “Biarkanlah ia, sebab sesungguhnya sifat
malu itu termasuk dari keimanan.” (Muttafaq ‘alaih)
Kenapa malu disebut sebagai salah satu cabang keimanan? Hal ini
dengan rasa malu yang ada pada dirinya seseorang akan malu apabila
meninggalkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta malu pula untuk
melanggar apa yang dilarang oleh Allah subhanahu wata’ala.
Sifat Malu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أشَدَّ حَيَاءً مِنَ
العَذْرَاءِ في خِدْرِهَا ، فَإذَا رَأَى شَيْئاً يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ
في وَجْهِه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih pemalu daripada
seorang gadis pingitan. Jikalau beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
melihat sesuatu yang tidak disenangi, maka kita dapat melihat itu tampak
di wajahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Gadis dalam pingitan adalah gadis yang sangat pemalu, ini karena dia
belum pernah menikah dan tidak pernah bergaul dengan lelaki. Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu dari gadis pingitan seperti
ini. Apabila melihat sesuatu yang tidak beliau senangi, beliau tidak
reaktif, akan tetapi ketidaksukaan beliau hanya nampak dengan perubahan
pada wajah beliau.
Malu yang Tercela
Sifat malu yang ada pada diri seseorang, hendaknya tidaklah
menghalangi seseorang untuk bertafaqquh fiddin, belajar dan bertanya
tentang permasalahan agama yang dia butuhkan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَمْنَعْهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baiknya wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidaklah
menghalangi mereka untuk bertafaqquh, memahami agama ini.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mereka
membutuhkan penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mereka
tidak malu untuk langsung bertanya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu
Sulaim radhiyallahu ‘anha.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, beliau berkisah,
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ لَا
يَسْتَحِي مِنَ الْحَقِّ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ
قَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
Ummu Sulaim datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap
kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika bermimpi?” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ya, apabila ia melihat air
(mani).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Rasa malu yang menghalangi seseorang dari tafaqquh fiddin, memahami
agama, bukanlah rasa malu yang terpuji. Sebaliknya rasa malu yang
semacam ini adalah rasa malu yang tercela.
Dari Abu Waqid al-Harits bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwasanya pada
suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk
dalam masjid beserta orang banyak. Lalu ada tiga orang yang datang.
Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang lapang
dalam majelis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi
duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir
dan pergi.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai beliau bersabda,
“Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga
orang? Adapun yang seorang (yang melihat ada tempat lapang terus duduk
di situ – pent), maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian
Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya (yang duduk di
belakang orang banyak – pent), ia adalah malu, maka Allah pun malu
padanya, sedangkan yang seorang lagi (yang menyingkir dari majelis –
pent), ia memalingkan diri, maka Allah juga berpaling dari orang itu.”
(Muttafaq ‘alaih)
Demikianlah sedikit pembahasan tentang malu. Semoga bisa bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Referensi:
- Syarah Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Sumber :
http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?no=350
Diperbolehkan mengkopi artikel dengan menyertakan sumbernya.